SISA TANYA DI MALAM MINGGU
(Sellen Manaratus Zulfa)
Semua orang pasti memiliki penyakit seperti ini yaitu lupa, seperti aku. Aku lupa belum menyetrika baju, padahal sudah menjelang Maghrib. Karena (maaf) “kebetulan” aku sedang dilarang shalat, saat itu juga aku menyetrika baju. Seperti biasa, aku lari ke rumah nenek yang hanya berbatas tembok.
Rumah nenek malam minggu sore itu sangat sepi karena nenek dan kakekku sudah berangkat ke masjid untuk shalat magrib berjamaah. Aku pasang setrika di dekat TV. Baru beberapa menit mulai menyetrika, aku dengar suara orang membuka pintu, “Sreg... blak...!”
Spontan aku memanggil ibuku,
“Ibu...ibu...!”
“Ada apa? Aku mau berangkat ke masjid. Jaga rumah...!” jawab ibu dengan terburu-buru.
Syukurlah, ternyata ibuku.
Aku lalu meneruskan pekerjaanku. Satu baju sudah selesai kusetrika. Sekonyong-konyong berhembus hawa dingin di belakangku. Bulu kudukku merinding. Aku merasakan seperti ada yang mengawasiku. Namun aku masih melanjutkan pekerjaanku karena masih ada kerudung dan baju coklat yang belum aku setrika. Aku kumandangkan shalawat untuk menenangkan hati. Tapi aneh, tetap saja kegundahan itu menghantuiku. Akhirnya pekerjaanku itu tidak kutuntaskan. Masih ada beberapa potong baju yang belum aku setrika. Baju-baju itu aku raup sekenanya dan aku bawa pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung duduk sambil menekuk lutut di atas kursi, rasa dingin yang tak wajar masih juga menyertaiku. Untunglah, ibuku segera pulang dari masjid.
Saat Isak tiba. Semua orang harus kembali berangkat ke masjid. Kini kembali aku sendirian di rumah.
“Blak...!” suara pintu dibuka dari arah dapur. Kupikir itu nenekku yang sedang membuka pintu, dan pasti ingin mengambil sesuatu di kulkas.
“Sst... srek,” suara kulkas dibuka, jadi betul tebakku. Tapi...
“Bukankah nenek juga ke masjid, jadi kenapa dia kemari?”
Karena penasaran aku langsung memanggilnya, “Nenek... Nek...!”
Tak ada jawaban. Rasa takutku kembali menyergap.
Aku pandangi sekeliling, juga lorong menuju ke dapur, benar-benar sepi, sunyi. Aku lari ke teras depan.
“Hhhah...hhah...hhah...,” aku mencoba mengatur nafasku. Walaupun lari lima langkah, rasanya seperti habis lari satu km.
Dari luar, aku amati bagian dalam rumahku yang remang-remang, ternyata... “Ihh jijik...,” ada kecoak di jendela dekat kamarku. Jadi ini rupanya yang dari tadi bikin aku takut. Tanpa menunggu lama, aku ambil sandal jepit dan kulempar ke arahnya. Tapi heranku, sudah tiga sandal jepit aku lempar ke arah binatang menjijikkan itu, tapi mengapa hewan itu tidak tumbang juga.
“Sandal jepit yang ke empat ini harus kena sasaran,” ucapku optimis. Dan lemparanku kali ini memang tidak meleset. Tapi, si kecoak menjijikkan itu malah menghilang, tidak mati seperti yang kuharapkan. Padahal aku paling jijik dengan binatang kecil itu. Jangan-jangan dia malah masuk ke kamarku.
Sandal jepit yang kulempar-lemparkan tadi aku biarkan berserakan.
“Kenapa sandalnya ini dibiarkan berserakan?” tanya ayahku sepulang dari masjid.
“Tadi ada kecoak dan terus kulempari dia dengan sandal jepit itu,” jawabku gugup. Ayahku sangat tahu, aku paling jijik dengan kecoak.
“Di mana kecoaknya?”
“Tadi di situ. Pasti lari ke kamarku,” tunjukku dari kejauhan.
Lalu ayah menyemprotkan penyemprot serangga ke ruangan kamarku.
“Sudahlah, kecoak itu tidak ada di kamarmu, kalaupun toch ada, pastinya sudah mati.” ayahku menyakinkanku.
Namun sebenarnya masih tersisa satu pertanyaan di benakku, siapa sebenarnya yang membuka pintu rumah nenekku ya...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar