Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan

24/10/23

Kasih Sayang Ibu

 

KASIH SAYANG IBU

Oleh: Miftahul Muin

 

Suatu hari saat aku duduk santai bersama ibuku sambil mengobrol dan nonton TV, “Bu, apakah aku ganteng?” tanyaku pada ibu.

“Tidak” jawab ibuku.

“Bu, apakah aku gemuk dan besar?” tanyaku lagi .

“Tentu saja” jawab ibuku sambil menganggukkan kepala, mantap.

Aku sangat tidak percaya dengan apa yang telah aku dengar. Tapi aku masih ingin melanjutkan pertanyaanku,

”Bu, apakah Ibu menangis jika aku meninggalkan Ibu?” tanyaku sekali lagi .

”Ibu tidak akan menangisimu”

Aku sangat terpukul dengan jawaban yang diucapkan oleh ibuku kali ini. Akupun langsung lari menjauh dari ibu. Namun serta-merta ibu menarik tanganku sambil memelukku, dan berkata, “Kamu tidak ganteng tetapi sangat ganteng. Satu satunya yang berfikir kamu itu gemuk dan besar dalah pikiranmu sendiri. Ibu tidak menginginkanmu tetapi Ibu sangat membutuhkanmu bersama Ibu, selamanya.”

Spontan aku memeluk ibuku dengan rasa yang tak mampu aku lukiskan dengan kata-kata. Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku sadar sepenuhnya bahwa kasih sayang ibuku kepadaku tak akan bisa terbalas dengan beribu-ribu kilo emas. Aku juga sadar, aku hanya bisa meminta, meminta dan meminta. Aku tidak bisa membalas jasa-jasa ibuku yang telah melahirkanku. Aku hanya bisa berharap dan berdo’a semoga ibuku dipanjangkan umurnya dan selalu bisa bahagia.

Aku terbayang betapa rintihan tangisnya di saat melahirkanku. Ketika masih bayi aku digendongnya, disusui, disuapi, dinina-bobokkan, dihibur, dimandikan, dan ketika aku sakit beribu cara ibuku lakukan agar aku bisa segera bermain dan dan tertawa-tawa kembali. Ketika aku duduk di bangku TK sampai sekarang, aku tidak akan bisa menghitung berapa ribu, berapa juta, atau bahkan berapa milyar kebaikan yang ibu berikan padaku.

“Ibu, jika aku besar nanti aku akan membahagiakan Ibu sebagaimana kasih sayang yang telah Ibu berikan biarpun itu tak kan pernah sepadan dibanding jerih payah yang telah kau berikan. Kebaikan, kesabaran, dan ketulusan Ibu dalam mendidikku tak akan pernah aku lupakan. Maafkan aku Ibu, yang sering mengabaikan perintahmu. Aku sayang Ibu... kataku dalam hati sambil memeluk ibuku dengan erat.

 

Akui dan Catatanku

 

AKU DAN CATATANKU

(SERIBU IMPIAN DI MASA DEPAN)

Oleh: Gladis Putri Farentina

 

Ilmu itu bagaikan api yang harus dinyalakan,

Bukan seperti bejana yang menunggu untuk diisi

 

Masing-masing orang pasti memiliki impian, cita-cita dan harapan. Harapan yang tersembunyi dari relung hati dan jiwa yang akan menimbulkan dorongan untuk melakukan suatu perubahan. Ketika aku masih kecil bahkan hingga saat ini, aku mempunyai impian ketika dewasa nanti harus menjadi orang yang bermanfaat dan berhasil. Setiap kali melakukan sesuatu, kata-kata itu selalu tertanam di benakku.

Aku memiliki guru yang selalu memberikan motivasi dan inspirasi untuk menatap ke depan. Guruku selalu mengatakan bahwa jika ada kemauan pasti ada jalan. Dan aku meyakini hal itu. Dalam hidupku, aku memiliki visi untuk merajut mimpi, menepis rintangan, menggapai cita-cita, dan mengabdi untuk bangsa.

Aku ingin mengadakan perubahan besar pada bangsa ini untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Inilah impian terbesarku. Aku sadar bahwa aku bagian dari Indonesia, bertugas sebagai seorang siswa yang tidak hanya bertanggung jawab pada sekolah, namun juga sebagai pengabdian untuk penerus bangsa. Aku adalah bagian dari pemuda yang merupakan agen perubahan bangsa.

Membahagiakan orang tuaku adalah cita-cita terbesarku. Sedangkan kebahagiaan orang tuaku adalah jika melihat aku sukses. Tak ada satupun orang tua yang ingin jasanya dibalas dengan harta. Mereka hanya ingin melihat anaknya bisa meraih keberhasilan. Dan aku akan terus berusaha sekuat tenaga agar aku bisa mencapai kesuksesan itu. Aku berharap orang tuaku selalu berada di sampingku, terus menyemangati dan mendukungku agar aku bisa menjadi perempuan yang kuat dan tangguh, tak gampang menyerah dan putus asa.

 Bagiku, keberanian itu lebih penting. Sukses bukanlah final. Kegagalan tak terlalu fatal. Keberanian untuk menapaki langkah berikutnya itulah yang terpenting.  Tak masalah kalau aku harus menemui kegagalan, meskipun saat kegagalan itu mendera dunia serasa hancur berkeping. Aku yakin kegagalan itu suatu saat akan bisa membuatku tersenyum. Kalaupun nantinya aku bisa meraih kesuksesan, itu pun bukan akhir dari segalanya. Selalu pasang target baru agar aku tak cepat puas dan berhenti di tempat. “Do’amu selalu kudamba, Ibu...”

 

Akibat Bangun Kesiangan

 

AKIBAT BANGUN KESIANGAN

Oleh: Nandes Citra Ningrum

 

Sinar matahari pagi menerobos jendela kamarku, menerpa wajahku hingga aku terbangun. Akupun membuka mata dengan berat. Kulirik jam dinding yang ada di kamarku, aku terkejut, jam 06.30. Spontan aku melompat dari ranjang, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, kupakai seragam sekolah dengan rapi, aku sempatkan sarapan pagi bersama ayah, ibu dan adikku.

Seperti biasa, ayah segera mengantarku ke sekolah. Tak sampai lima belas menit aku sampai di gerbang madrasahku tercinta, MTsN 4 Trenggalek. Beruntung aku tidak terlambat, masih tersisa beberapa menit. Aku langsung bergegas menuju ke kelasku. Baru meletakkan tas di laci meja, bel panjang berbunyi. Suara Pak Hanik menggema dari speaker kantor, “Seluruh siswa harap segera turun ke lapangan. Hari ini kita adakan upacara bendera!”

Stangan leher. Ini kebiasaanku, stangan leher aku taruh di dalam tas. Aku segera mencarinya, tapi tidak ketemu. Aduh! Jangan-jangan tak terbawa. Dan benar-benar sial, kain merah putih itu tak ada di dalam tas. Aku mulai panik. Alamat kena hukum berdiri di depan lapangan. Hampir saja aku pura-pura sakit agar punya alasan tidak mengikuti upacara bendera. Tapi aku teringat pesan Pak Safa’ jangan sekali-kali berani alasan sakit jika tidak ingin benar-benar sakit sebab alasan itu sama dengan keinginan. Akhirnya dengan perasaan was-was, aku tetap ikut upacara.

Seperti biasa, ketika upacara berlangsung, pasti ada bapak atau ibu guru yang berkeliling ke barisan-barisan untuk mengecek seragam siswa. Jantungku berdecak kencang. Badanku gemetar. Aku memang bukan termasuk anak-anak super baik yang tak pernah melakukan pelanggaran. Namun aku juga bukan anak bandel yang selalu bikin pelanggaran. Buktinya dalam catatan buku skor pelanggaranku di kelas delapan yang lalu, hanya tertulis satu kali tidak mengerjakan PR dan satu kali datang terlambat.

Beberapa jarak di belakangku terdengar ribut-ribut kecil. Entah apa yang terjadi, aku tidak berani menoleh ke belakang. Namun tiba-tiba ada tangan mencekal pundakku, menarikku ke belakang. Dengan perasaan tak karuan, aku beranikan diri menoleh. Aduch! Mati aku. Pak Hanik membawaku ke depan barisan bersama seorang temanku yang tadi ribut-ribut di barisan belakang. Sama-sama tidak memakai stangan leher. Kami disuruh berdiri di depan barisan. Malunya setengah mati. Satu jam rasanya berjam-jam.

Setelah upacara selesai, sebelum diperbolehkan masuk kelas, Pak Hanik menyuruh kami berlari mengelilingi lapangan sebanyak enam kali putaran, jadi tontonan beratus-ratus siswa. “Cuit-cuit” dan “huuu...” dari mulut-mulut mereka semakin membuat rasa maluku memuncak.

Setelah selesai keliling lapangan, aku bergegas masuk kelas. Jam pertama itu waktunya pelajaran IPA. Seperti teman-temanku yang lain, aku segera membuka tasku untuk mengambil buku IPA. Lagi-lagi sial! Buku IPA-ku tidak ada. Seperti dapat diduga, aku harus menerima sanksi. Aku tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran IPA hari itu. Karena bangun kesiangan hariku jadi terasa sangat menyebalkan dan melelahkan.

 

Arti Lafal Surat Al Baqarah ayat 254

  SURAT AL BAQARAH AYAT 254   يٰٓاَيُّهَا   wahai فِيْهِ di dalamnya الَّذِيْنَ ...