24/10/23

Akibat Bangun Kesiangan

 

AKIBAT BANGUN KESIANGAN

Oleh: Nandes Citra Ningrum

 

Sinar matahari pagi menerobos jendela kamarku, menerpa wajahku hingga aku terbangun. Akupun membuka mata dengan berat. Kulirik jam dinding yang ada di kamarku, aku terkejut, jam 06.30. Spontan aku melompat dari ranjang, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, kupakai seragam sekolah dengan rapi, aku sempatkan sarapan pagi bersama ayah, ibu dan adikku.

Seperti biasa, ayah segera mengantarku ke sekolah. Tak sampai lima belas menit aku sampai di gerbang madrasahku tercinta, MTsN 4 Trenggalek. Beruntung aku tidak terlambat, masih tersisa beberapa menit. Aku langsung bergegas menuju ke kelasku. Baru meletakkan tas di laci meja, bel panjang berbunyi. Suara Pak Hanik menggema dari speaker kantor, “Seluruh siswa harap segera turun ke lapangan. Hari ini kita adakan upacara bendera!”

Stangan leher. Ini kebiasaanku, stangan leher aku taruh di dalam tas. Aku segera mencarinya, tapi tidak ketemu. Aduh! Jangan-jangan tak terbawa. Dan benar-benar sial, kain merah putih itu tak ada di dalam tas. Aku mulai panik. Alamat kena hukum berdiri di depan lapangan. Hampir saja aku pura-pura sakit agar punya alasan tidak mengikuti upacara bendera. Tapi aku teringat pesan Pak Safa’ jangan sekali-kali berani alasan sakit jika tidak ingin benar-benar sakit sebab alasan itu sama dengan keinginan. Akhirnya dengan perasaan was-was, aku tetap ikut upacara.

Seperti biasa, ketika upacara berlangsung, pasti ada bapak atau ibu guru yang berkeliling ke barisan-barisan untuk mengecek seragam siswa. Jantungku berdecak kencang. Badanku gemetar. Aku memang bukan termasuk anak-anak super baik yang tak pernah melakukan pelanggaran. Namun aku juga bukan anak bandel yang selalu bikin pelanggaran. Buktinya dalam catatan buku skor pelanggaranku di kelas delapan yang lalu, hanya tertulis satu kali tidak mengerjakan PR dan satu kali datang terlambat.

Beberapa jarak di belakangku terdengar ribut-ribut kecil. Entah apa yang terjadi, aku tidak berani menoleh ke belakang. Namun tiba-tiba ada tangan mencekal pundakku, menarikku ke belakang. Dengan perasaan tak karuan, aku beranikan diri menoleh. Aduch! Mati aku. Pak Hanik membawaku ke depan barisan bersama seorang temanku yang tadi ribut-ribut di barisan belakang. Sama-sama tidak memakai stangan leher. Kami disuruh berdiri di depan barisan. Malunya setengah mati. Satu jam rasanya berjam-jam.

Setelah upacara selesai, sebelum diperbolehkan masuk kelas, Pak Hanik menyuruh kami berlari mengelilingi lapangan sebanyak enam kali putaran, jadi tontonan beratus-ratus siswa. “Cuit-cuit” dan “huuu...” dari mulut-mulut mereka semakin membuat rasa maluku memuncak.

Setelah selesai keliling lapangan, aku bergegas masuk kelas. Jam pertama itu waktunya pelajaran IPA. Seperti teman-temanku yang lain, aku segera membuka tasku untuk mengambil buku IPA. Lagi-lagi sial! Buku IPA-ku tidak ada. Seperti dapat diduga, aku harus menerima sanksi. Aku tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran IPA hari itu. Karena bangun kesiangan hariku jadi terasa sangat menyebalkan dan melelahkan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Doa-Doa yang Utama Dibaca Sesudah Shalat

  DOA-DOA YANG UTAMA DIBACA SESUDAH SHALAT   الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ   حَمْداً يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه...