KASIH SAYANG
DI BALIK KETEGASAN
Oleh: Yuni Turwidia Lestari
Saya mau menulis cerita tentang seorang siswi yang mulai menyadari betapa beratnya perjuangan seorang ibu. Kesadarannya mulai tumbuh ketika ia mengikuti Diklat Kepemimpinan untuk menjadi Dewan Galang Pramuka di sekolahannya. Ketika ia mulai berpikir bahwa seorang yang hebat tidak akan menjadi hebat tanpa adanya orang terhebat. Dari pemikiran itu ia melihat pelatihnya yang memberi kasih sayang dalam kebebasannya. Beliau ingin anak didiknya menjadi lebih baik dari dirinya, dengan ketegasan, kedisiplinan, solidaritas, dan jiwa korsa. Dan ia berpikir, mungkin selama ini ibunya memberinya kasih sayang seperti itu, namun ia baru menyadarinya. Ingin tahu kelengkapan ceritanya...segera dibaca! Inilah ceritanya.
Gemericik air mulai jatuh dari awan hitam di langit. Membangunkan gadis manis yang terlelap dengan impian-impian malamnya. Gadis itu terbangun dari alam bawah sadarnya. Gadis yang akrab dipanggil Rayne itu pun segera lompat dari tempat tidurnya dan lari ke kamar mandi, lalu bersiap memakai seragam sekolahnya. Setelah selesai menatap kaca, ketika spontan menoleh ke jam dinding yang menempel di sisi barat dinding kamarnya, Rayne begitu terkejut.
"Hah...baru jam empat" ucap Rayne sambil melongo.
"Mau ngapain aku, baru jam segini juga" keluh Rayne dalam batin.
Rayne kembali membaringkan tubuhnya ke tempat tidur sembari menatap handphonenya. Tak terasa waktu pun berlalu, suara adzan subuh berkumandang menunjukkan pukul 04.30 WIB. Rayne pun mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh berjama’ah di mushola.
Penantian Rayne akhirnya berakhir juga, waktu telah menunjukkan pukul 06.00. Rayne pun segera berpamitan dengan ibunya, dan segera berangkat diantar kakak laki-lakinya. Di perjalanan, Rayne merasa sangat bahagia. Maklum karena hari ini adalah hari yang Rayne tunggu-tunggu. Hari ini Rayne akan mengikuti Diklat Kepemimpinan untuk para siswa yang tergabung dalam Dewan Galang di sekolahnya. Rayne sudah membayangkan bagaimana serunya menjalani hari-hari bersama teman-temannya, mendapat pengalaman baru, dan mendapat kehormatan dilatih oleh tentara, di batalion lagi. Wow...! Lamunan Rayne seketika lenyap saat sepeda berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya.
"Rayne!” panggil Syifa, temannya yang juga anggota Dega.
"Eh Syifa, sudah lama datang?” tanya Rayne berbasa-basi.
"Barusan, Rayne! Lihat tuch! Trucknya gede banget" celoteh Syifa sabil menunjuk-nunjuk ke arah mobil truck biru dongker yang kemudian berhenti di depan gerbang madrasah. Truck itu terlihat gagah dan keren.
"Truck itu ya yang akan membawa kita?"
"Ya iyalah...” jawab Syifa mantab.
Waktu pemberangkatan tiba. Ada beberapa siswa yang meneteskan air mata ketika bersalaman dan berpamitan dengan bapak atau ibu yang mengantarnya. Aku jadi membayangkan beginilah kiranya perpisahan dengan orang tercinta ketika para calon tentara berpamitan dengan orang tuanya untuk menjalani pendidikan ketentaraannya. Waduh... benar-benar mengharukan. Truck mulai berjalan pelan meninggalkan gerbang madrasah. Untuk menghilangkan ketegangan, di sepanjang perjalanan kami asyik bercanda sambil bernyanyi bersama.
Tidak sampai dua jam berlalu, akhirnya kami sampai ke tempat tujuan.
“BATALYON INFANTERI 511 BADAK HITAM” aku baca pelan tulisan yang tergantung di pintu gerbang.
"Turun...turun! Cepat! Langsung membuat barisan!" suara keras dan tegas beberapa pemuda berbaju loreng, sepertinya mereka inilah yang akan menjadi pelatih kami.
Kami digiring ke lapangan basket untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Setelah itu kami diirit ke barak tempat kami tinggal selama 3 hari ke depan. Sesampainya di barak, hal pertama yang harus kami lakukan adalah merapikan merapikan barang-barang bawaan kami.
Selesai bersih-bersih, merapikan barang bawaan, dan makan siang semua peserta diklat dilatih dan ditempa layaknya seorang prajurit. Begitulah hari-hari yang kai jalani di Batalyon Infanteri 511 Badak Hitam. Malam hari, tepat pukul 23.00 bunyi tembakan terdengar dari samping barak.
Para peserta diklat diberi isyarat untuk keluar dari barak dan lari ke lapangan utama. Kami diperintahkan membuat kelompok. Setiap kelompok terdiri atas tiga orang, yang penting kelompok itu harus ada laki-laki dan perempuannya. Selanjutnya masing-masing kelompok disuruh mencari kodok di area lapangan. Awalnya kami ragu untuk melakukannya namun setelah pelatih menggertak dengan dentuman tembakan ke atas, akhirnya seluruh kelompok langsung melakukan perintah pelatih dengan cekatan.
"Aduh Ris, gimana nich, kita belum dapat kodoknya nich" teriak Rayne pada Risti, teman satu kelompoknya.
"Slow saja. Kalau panik kita malah susah nanti mendapatkannya" Risti berusaha menenangkan Rayne.
"Sini...sini! Aku dapat nich!" teriak Ridho, satu-satunya cowok dalam kelompok Rayne dan Risti. Upaya mereka akhirnya membuahkan hasil tepat ketika pelatih kami menyuruh kami berkumpul. Mereka berkumpul sambil menunjukkan kodok yang telah mereka dapatkan sebagai bukti. Beberapa dari mereka ada yang sampai muntah karena merasa jijik. Setelah itu kodok dilepaskan bersamaan.
Berikutnya kami digiring menuju ke aula untuk mengikuti acara renungan malam. Suasana tengah malam itu benar-benar hening. Tak ada suara berisik sedikitpun. Hanya hembusan nafas kami yang terdengar begitu berat dan hati-hati. Dari awal acara kami sudah merasakan perasaan tak karuan. Di puncak renungan itu tidak ada satupun dari kami yang tidak menangis. Penyesalan dan rasa bersalah terhadap berbagai sikap dan tindakan yang telah kami lakukan sehari-hari, merasa begitu kecil dan tak berdaya di hadapan Tuhan yang Maha Agung. Benar-benar sebuah moment membuat kami tak bisa menahan tangis. Tak bisa kami ceritakan lagi kecamuk perasaan kami di malam renungan itu. Itulah puncak gemblengan kami di Batalyon Infanteri 311 di Blitar.
Tiga hari berlalu sudah. Tibalah saat perpisahan dan kami harus kembali pulang, kembali menjalani rutinitas kami di rumah dan di madrasah. Perasaan gembira campur sedih. Gembira karena kami akan bertemu kembali dengan orang-orang tercinta di rumah, dan teman-teman kami di bangku madrasah. Sedih karena harus berpisah dengan para pelatih kami yang dengan telaten mendampingi kami menjadi pribadi-pribadi yang lebih mengerti tanggung jawab, lebih disiplin, lebih mandiri, dan lebih menghargai waktu. Di balik sikap tegas dan berdisiplin tinggi ternyata para pelatih kami itu ternyata juga suka humor dan penuh welas asih. Sungguh perpisahan yang sangat mengharukan.
Tiga hari di Batalyon Infanteri 311 Badak Hitam benar-benar telah merubah sekian persen pola hidup kami.
“Rayne!”
Suara ibunya menyadarkan Rayne dari lamunan. Rayne menghambur dalam pelukan ibunya yang berdiri termangu di ambang pintu kamarnya.
“Maafkan Rayne Bu. Selama ini Rayne terlalu banyak menuntut dan merepotkan Ibu. Rayne sayang sekali sama Ibu. Mulai saat ini Rayne berjanji akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu” Rayne merapatkan pelukannya.
Ibunya tersenyum sambil mengusap rambut Rayne.