28/12/21

Aku Rindu Bapak dan Ibuku

 

AKU RINDU BAPAK DAN IBUKU

(Bagus Setiawan Amin)

 

Satu persatu telah Kau ambil.

Di kaca jendela itu, di antara embun malam yang mengaburkan kebeningan kaca, aku menulis kesepian ini dengan bahasa yang paling dingin. Di antara purnama itu, adakah yang dititipkan senja yang mempertemukan do’a kita, di mana lantunan do’a itu kutemukan lagi. Mengapa harus secepat ini menghilang, sementara aku masih membutuhkan kehadiran mereka. Haruskah hampir bersamaan? Apa yang sebenarnya terjadi Tuhan? Kalau ini takdir mengapa sepahit ini? Tidakkah Kau izinkan mereka menemaniku lebih lama lagi? Lihatlah betapa lemah dan tak berdayanya aku tanpa mereka.

Aku menutup mataku ketika mengingat semua, aku menutup mataku dari semua yang aku lihat, dari semua cerita tentang ayah dan ibuku. Tetapi aku terlalu lemah, aku rindu mereka, aku sangat merindukan setiap momen bersama mereka. Aku coba melupakan momen yang ada di ingatanku, tapi semakin kulupakan justru muncul cerita-cerita yang lain. Bahkan aku ingat jelas cerita terkecil ketika bersama mereka.

Sekali lagi aku menutup mataku. Aku rasakan sentuhan lembut mengelus kepalaku. Menciumku dan memelukku. Aku menangis dan ketika itu ada sosok yang lain datang padaku, tersenyum padaku dan kemudian dia merangkulku. Entah apa yang kurasakan saat itu. Aku seperti tidak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini. Aku sudah sempurna bersama mereka.

Aku ingat betul peristiwa 2 setengah tahun lalu. Mereka  menyekolahkanku. Aku semakin terhanyut dalam hanyalan tentang mereka. Aku berjalan dan terus berjalan dalam hanyalanku. Aku mendapati ayahku yang bekerja banting tulang demi untuk menyekolahkanku. Tidak kenal panas terik atau hujan badai. Tidak perduli berkilo-kilo meter jarak yang beliau tempuh. Tidak jarang beliau terapung berhari-hari di atas lautan tiada batas, keluar pulau hanya demi kami. Pengorbanan yang luar biasa juga ketika beliau pulang dari merantau berkumpul di sini, di rumah ini.

Sedangkan ibu, oh ibu, kau begitu setia menunggu bapak pulang, mengurus anak-anakmu, memenuhi keperluan dan kebutuhan hidup kami. Aku tahu kau sangat kesepian di rumah, sendiri denganku yang saat itu masih kecil, tapi kau begitu bangganya dengan keluargamu. Kau anggap ketidakbersamaan ini adalah untuk kesempurnaan hidup menuju Ridho Illahi. Kau lantunkan do’a di setiap sujudmu untuk mengiringi langkah kami. Aku tahu cintamu kepada kami tidak ada bandingnya. Dan kami sangat sering mengalami jatuh bangunnya roda kehidupan, tapi kami masih bisa menari di atas ombak.

Dan berkali-kali kupejamkan mata, aku melihat keluarga yang bahagia di dalam rumah ini. Aku tersenyum dan tersenyum semakin lebar. Namun ketika aku membuka mataku, aku sangat sedih. Semua itu telah hilang, semua itu telah pergi yang katanya disebut takdir. Aku buka mata, aku tidak mendapati apa-apa kecuali rumah yang kosong, dan aku hanya sendiri saja.

Aku menangis, sedih, sakit yang teramat. Tuhan… siapa yang mengerti hatiku saat ini, hanya Engkau yang tahu betapa banyak air mata yang aku keluarkan di saat aku sendiri Tuhan. Bagaimana Engkau ciptakan takdirku yang begitu pahit dan berat ini? Bagaimana mungkin aku hidup tanpa kedua orang tua?  Bagaimana mungkin aku hidup tanpa ayah dan ibu?

Aku menyesal dan sangat menyesal. Seandainya dulu aku cepat membawa ibuku berobat ke rumah sakait yang paling canggih, mungkin beliau tidak akan pergi secepat ini. Betapa bodohnya aku membiarkan ibuku kesakitan begitu lama? Begitu teganya aku melihat ibuku terbaring kesakitan dan aku hanya diam tak melakukan apa-apa? Anak macam apa aku ini? Maafkan aku, ibu…

Arti Lafal Surat Al Baqarah ayat 254

  SURAT AL BAQARAH AYAT 254   يٰٓاَيُّهَا   wahai فِيْهِ di dalamnya الَّذِيْنَ ...