KENANG-KENANGAN TERINDAH
BERSAMA SAHABATKU
(Tsamrotul Fuadiyah)
Pagi itu aku berangkat sekolah dengan perasaan gembira, karena hari itu aku bisa berangkat ke sekolah bersama teman-temanku. Tidak seperti kebanyakan hari-hariku yang seringkali harus berangkat sekolah sendirian. Teman-temanku memang banyak yang diantar jemput ibu atau bapaknya. Ada juga yang ikut rombongan mobil antar jemput. Sedangkan aku memang lebih suka ditemani sepeda onthelku yang setia. Pikir-pikir, uang untuk biaya antar jemput itu bisa aku tabung. Sebab jika dihitung-hitung dua ribu rupiah tiap hari kali satu bulan saja sudah bisa terkumpul tidak kurang dari lima puluh ribu rupiah. Lagian, jarak sekolahku, MTsN 4 Trenggalek dengan rumahku di Margomulyo tidak lebih dari tiga kilo meter. Jadi tidak terlalu menyita waktu dan tenaga jika aku bersepeda. Itung-itung sambil olahraga.
Saat tiba di sekolah ternyata bel sudah berbunyi, akupun langsung bergegas menuju ruang kelasku, dan syukurlah belum keduluan guru masuk kelas. Lalu akupun duduk dan mulai berdo’a dilanjutkan tadarus Al Qur’an. Hari itu seperti biasanya semua murid di kelasku gaduh, karena belum ada guru yang datang mengisi jam pelajaran pertama. Tak begitu terasa, jam pelajaran pertama dan kedua berakhir sudah. Dan sekarang masuk jam pelajaran ketiga.
Dan ternyata menurut informasi guru piket, hari itu guru yang kebagian mengajar jam ketiga dan keempat sedang ada acara dinas luar. Kami diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal latihan.
“Wah, jam kosong, asyik nich,” komentar seorang teman laki-laki.
Beberapa teman lain ikut menimpali komentar temanku itu, sedangkan aku hanya bisa menggeleng kepala saja melihat tingkah mereka.
Di sela-sela mengerjakan tugas, aku bertanya kepada teman sebangkuku, dia Nirma, teman baikku.
“Nir, apa benar kamu ingin pindah sekolah?”
Nirma yang tadinya tertawa-tawa, mendadak terdiam.
“Mmm... bagaimana ya, aku memang mau pindah sekolah Lin, tapi aku masih menunggu kepulangan ayahku dari perantauan,”
“Memangnya kenapa kamu harus pindah, Nir?”
Nirma menundukkan kepalanya.
“Sebenarnya aku juga tidak ingin pindah sekolah, Lin. Tapi aku khan tidak punya siapa-siapa di sini. Mau bagaimana lagi?”
Aku menepuk pundak sahabatku itu.
“Khan ada aku. Kamu adalah teman baikku, Nir,”
Kataku seadanya karena tak tahu lagi apa yang harus aku katakan tentang rencana kepindahan Nirma itu. Kami sudah seperti saudara, kami selalu berbagi dalam suka dan duka.
“Betul Lin, tapi masalahnya tidak sesederhana itu khan. Aku harus mengikuti orang tuaku,”’
“Tet - tet – tet...!”
Bel tanda istiahat berbunyi. Kami pun pergi menuju ke kantin sekolah.
“Lin, kamu mau pesan apa, aku yang traktir hari ini,” tidak seperti biasanya Nirma jadi perhatian ke aku.
“Wah... kamu mau traktir aku, mimpi apa aku semalam, Nir,” tanpa sepatah katapun Nirma langsung menarik tanganku untuk duduk di kursi sambil menanti makanan yang dipesan datang.
Sekitar lima belas menit kemudian, bel tanda waktu masuk kelas berbunyi. Aku dan Nirma cepat-cepat menghabiskan makanan di piring kami masing-masing. Kemudian kami bergegas masuk kelas. Ketika kami masuk ke kelas, ternyata di sana sudah ada Pak Hanik, salah seorang guru kami. Ternyata Pak Hanik bermaksud memanggil Nirma.
“Nirma! Kamu ikut Bapak, ada yang ingin bertemu denganmu,”
Nirma langsung mengikuti Pak Hanik ke depan ruang guru.
Tak lama kemudian, Nirma kembali ke kelas dengan mata sayu.
“Nir, kamu kenapa? jangan-jangan bener ya...?”
“Iya Lin, ternyata ayahku sudah ada di depan sana tuch untuk menjemputku, aku tidak menyangka ayahku akan datang secepat ini,”
Aku hanya terdiam mendengar pernyataan itu. Mataku mulai basah oleh air mata. Tak bisa lagi aku tahan curahan air mata karena harus kehilangan teman baikku, Nirma.
“Lin, ma’afin aku ya, mungkin yang aku katakan ini terlalu cepat,” Nirma lalu memelukku dengan erat.
“Nir, kenapa kamu harus pindah? Bukankah di sini banyak teman yang sayang dan perhatian sama kamu, termasuk aku?”
Nirma memandangku dengan raut wajah sedih.
“Lin, sebenarnya ibuku telah tiada, aku di sini hanya hidup dengan paman, bibi, dan nenekku saja. Aku harus pulang ke Kediri bersama ayahku, Lin,”
Aku berusaha mencerna penjelasan Nirma itu.
“Lina.., aku punya sesuatu untuk kenang-kenangan terakhirku, semoga ini dapat menjadi kenang-kenangan terindah untukmu,” Nirma memberiku sebuah gelang yang indah.
“Nir, apa ini? Kenapa kamu berikan gelang ini padaku? Pasti ini harganya mahal khan?”
Nirma hanya tersenyum, “Teman baikku, aku memberimu gelang ini sebagai kenang-kenangan dan harganya tidak seberapa kok,”
Akupun memeluk Nirma, haru.
“Terimakasih teman, kenang-kenanganmu ini akan selalu kukenang sebagai tanda persahabatan kita,”
Sebagai gantinya, aku memberikan cincin yang aku pakai kepada Nirma.
“Terima ini Nir. Biarpun hanya cincin polosan, tapi setidaknya bisa menjadi tanda persahabatan kita,”
“Terima kasih banyak, Lin. Cincinnya bagus, aku suka banget,” Nirma kembali memelukku.
Sambil tersenyum aku berkata, “Nir..., ingat kata-kataku ini ya, teman itu selalu ada dalam susah maupun senang, dekat maupun jauh.”
Akhirnya kami benar-benar harus berpisah. Perpisahan yang terasa sangat menyedihkan namun tetap harus terjadi.
Sahabat, aku akan merindukanmu, terimakasih kau telah meluangkan waktumu untuk bisa berkenalan denganku, bercanda tawa denganku. Sekarang aku rela jika memang kau harus pergi. Mudah-mudahan kau juga bisa merasakan bahagia bersama orang-orang yang mencintaimu.