GARA-GARA IKAN LELE
(Anisa Dina Utami)
Saat pelajaran prakarya, kami mempelajari bab dengan tema pembudidayaan ikan. Bu Kurnia, guru prakarya kami, memberi tugas kepada kami untuk membudidayakan ikan selama satu bulan dan membuat laporan tentang pertumbuhan ikan tersebut.
Aku bingung, ikan apa yang akan aku pelihara. Selama ini aku belum pernah memelihara ikan. Teman-temanku mulai kasak-kusuk tentang rencana mereka masing-masing. Ada yang akan memelihara ikan mas, ikan lele, ikan patin, dan yang lainnya.
Satu kelaspun membicarakan ikan apa yang akan mereka pelihara, sedangkan laporan tentang ikan tersebut harus dikumpulkan 1 bulan lagi. Karena mereka sibuk ngobrol sendiri, waktu pun berjalan cepat dan akhirnya bel berbunyi pertanda waktunya pulang.
Sekitar satu minggu kemudian ayahku membelikan aku ikan di pasar Bandung. Saat aku pulang sekolah, ibuku menyuruhku melihat ikan yang telah dibelikan ayahku itu. Ikan itu dipelihara dalam bak plastik dengan diisi air penuh. Kemudian bak itu ditaruh di belakang lemari.
“Plung... plung... byurr... byurr...” suara ikan yang berada di bak, terdengar oleh telingaku ketika aku mendekat.
Ternyata ikan lele. Ketika aku mendekatinya, ikan-ikan itu berjumpalitan, melompat-lompat ke atas permukaan air, ingin keluar. Dan betapa kagetnya aku, seekor ikan lele tanggung berhasil melompat keluar dari bak penampungan. Ikan Lele tersebut merayap berusaha pindah tempat dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Karena merasa jijik, aku menjauh. Ikan itu melenggak-lenggok, bergerak menuju kolong almari. Aku melongok ke bawah kolong almari, eh, ternyata di sana sudah ada dua ekor Lele, temannya. Pantas saja, ikan ini begitu semangat ingin jumpa temannya di kolong almari.
Aku benar-benar merasa jijik. Akhirnya aku teriak memanggil ayahku untuk mengambilnya. Ayahku berusaha mengambil ikan itu dari kolong almari, tapi tetap tidak berhasil karena tangan ayahku tidak sampai untuk menggapainya. Akhirnya ayahku mengambil tongkat untuk menggapainya. Tapi ternyata ikannya licin. Justru ketika tubuhnya tersenggol tongkat yang dipegang ayah, ikan itu berusaha menjauh ke tempat yang lebih gelap. Demikian berkali-kali. Mengetahui kesulitan ayah, ibuku berinisiatif mengambil senter untuk penerang. Berkat kerja sama ayah dan ibuku, akhinya ikan itu satu persatu bisa ditangkap juga dan dimasukkan kembali ke bak penampungan.
“Atau sebaiknya dikasih jaring saja di atas bak, biar ikannya tidak bisa melompat keluar”, usulku pada ayah setelah semua ikan bisa dibereskan.
“Wah benar juga itu!” ayahku menyetujui usulku.
Hari berganti hari. Satu demi satu ikan lele itu mati. Tubuhnya putih memucat dan siripnya tergores. Air dalam bak juga berubah warna menjadi coklat tua dan keruh dengan bau menyengat. Ikan yang jumlahnya ada dua puluh lebih, dalam jangka beberapa hari tinggal beberapa ekor saja.
Tiba waktunya menulis laporan. Aku berencana ke warnet. Aku ajak Alma keponakanku yang rumahnya hanya beberapa puluh meter saja dari rumahku.
Sebelum berangkat, terlebih dulu aku mandi, sementara Alma menungguku sambil nonton TV.
“Kalau ingin melihat ikan, tuch di balik almari!” kataku pada Alma, sebelum aku tinggal mandi.
Baru saja mengguyur tubuh, terdengar suara Alma teriak-teriak. Tanggung, tak aku perdulikan teriakan Alma. Alma semakin ribut, sepertinya. Sembilan menit kemudian, aku selesai mandi. Alma sudah menungguku dengan wajah ketakutan. Tangannya menunjuk ke dekat almari.
Di hadapan keponakanku itu aku berlagak jadi seorang pemberani. Lagi pula sudah hampir satu bulan aku berkenalan dengan ikan-ikan itu. Ternyata ada satu ekor ikan lele cukup besar yang keluar dari bak. Aku mengambil cikrak di dekat dapur. Ikan lele itu tentu saja tak berkutik di hadapan cikrakku. Kemudian ikan itu aku masukkan kembali ke dalam bak.
“Haah...” hela nafas Alma, keponakanku.
Akhirnya laporan itu aku tulis asal jadi, tidak sesuai keadaan sebenarnya. Datanya aku manipulasi tidak sesuai faktanya. Yang penting menulis laporan dan dapat nilai. Maafkan aku bu, Nia.@