MIMPI BURUK
TENTANG MASA LALUKU
(Alifah Nurul Azizah)
Aku terbangun dari mimpi burukku, aku diam tak bergeming. Aku takut mimpi burukku itu menjadi kenyataan. Aku ingin membuang jauh-jauh pikiran itu tetapi tak bisa. Semakin aku mencoba untuk membuangnya jauh-jauh pikiran itu, semakin bertambah saja rasa takutku. Aku bingung kenapa masa laluku yang kelam itu muncul lagi setelah sekian lama aku tak ingat tentang masa laluku yang kelam itu. Aku butuh waktu cukup lama untuk bisa melupakannya tetapi mengapa dengan mudahnya ingatan itu tiba-tiba saja kembali muncul.
Aku melirik jam yang berada di sebelah tempat tidurku, 25 menit berlalu tanpa terasa. Selama sekian menit tadi aku telah menghabiskan waktuku untuk melamun. Aku segera beranjak dari tempat tidurku, tak sempat lagi untuk mandi sebelum shalat. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil air wudlu saja dan segera shalat subuh. Urusan mandi kupikirkan nanti saja, aku bisa mandi setelah shalat.
Setelah selesai shalat Subuh, aku segera mandi. Aku tak ingin terlambat masuk sekolah hanya karena masa laluku yang tak seharusnya aku pikirkan dan kuingat-ingat lagi. Setelah selesai mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku segera pamit kepada ibuku dan meminta do’a restunya agar sekolahku lancar. Jarak dari rumah ke sekolahku lumayan jauh. Aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke sekolahku.
Di tengah perjalanan, entah mengapa, aku mengingat-ingat lagi tentang masa laluku yang membuatku sedih karena harus kehilangan sosok ayah, yang seharusnya selalu ada di saat aku membutuhkannya. Terkadang aku merasa iri kepada teman-temanku yang mempunyai ayah. Aku juga ingin seperti mereka yang mempunyai sosok pelindung dan penghibur yaitu AYAH. Tetapi ini sia-sia saja. Meskipun seribu kali sehari aku mengingat-ingat masa laluku itu, tetap saja tak akan bisa memutar ulang waktu dimana aku masih memiliki seorang ayah. Namun tak mudah pula untuk melupakan masa lalu itu. Sepanjang perjalanan aku masih saja memikirkannya. Semakin aku ingin menepiskannya, ingatan itu semakin kuat pula mencengkeramku.
Sesampainya di sekolah, aku segera pergi ke kelasku. Sesampainya di kelas aku segera duduk di kursiku, dan anehnya masih saja mimpi burukku tentang masa lalu itu mengikutiku. Sebenarnya aku sudah berupaya keras membuang jauh-jauh mimpi buruk itu.
“Hayo…, kamu lagi mikirin apa?’’ ujar Vara mengagetkanku disusul suara tawanya yang yang renyah.
“Sok tahu kamu. Siapa juga yang lagi mikirin sesuatu’’ ujarku berusaha menutupi kekagetanku.
‘’Ya sudah kalau begitu. Tapi benar nich nggak mau berbagi cerita dengan sahabatmu ini?”
“Aku cuma nggak mau aja kamu nggak fokus ke pelajaran’’ ujar Vara mencoba meyakinkanku.
“Benar, aku nggak apa-apa kok, cuma ada masalah sedikit saja, dan masalahnya juga nggak terlalu serius” kataku meyakinkannya.
“Benar kamu tidak ingin cerita padaku?” Vara masih saja mendesakku.
“Benar nggak apa-apa kalau aku cerita masalahku ini ke kamu. Apa kamu nggak akan mentertawakan aku?” jawabku ragu-ragu.
“Ya... jika kamu percaya pada sahabatmu ini”
Akhirnya aku mau juga menceritakan sedikit kegundahan hatiku pada Vara, sahabatku.
“Gara gara mimpiku itu aku jadi teringat tentang masa laluku”.
“Memang mimpimu itu tentang apa sich kok sampai membuatmu begitu galau?”
“Aku bermimpi ayahku datang kemari untuk membawaku pergi bersamanya. Entah mengapa, rasanya mimpiku itu tak lama lagi akan menjadi kenyataan”
“Kamu kok bisa seyakin itu Rika? Lagian ngapain kamu takut jika ayahmu datang ke sini dan membawamu pergi bersamanya. Di sini khan banyak keluargamu; ibumu, kakek nenekmu, saudara-saudaramu”
“Iya juga sich, tapi entahlah, aku takut mimpiku itu jadi kenyataan”
“Sudahlah, tidak ada untungnya kamu terus memikirkan mimpi itu. Apa kamu tidak takut gara-gara memikirkan mimpi yang tidak beralasan itu, aku memanggilmu nenek karena rambutmu yang memutih?”
Vara kembali menertawaiku. Bersamaan dengan itu bel masuk berbunyi, kami segera masuk kelas dan berdo’a bersama untuk memulai pelajaran hari ini agar ilmu yang guruku berikan bermanfaat bagi masa depan kami nanti.
Pelajaran hari itu akhirnya berakhir juga sebelum otakku mengeluarkan asap.
“Jika saja pelajaran Bahasa Jawa tadi tidak segera berakhir, bisa pingsan aku dibuatnya” kataku lemas.
“Hahahaha…..mungkin jika kamu tadi pingsan nggak ada yang mau nolongin kamu, Rika” kata Vara disusul dengan tawanya puas habis meledekku.
“Sudah dong bercandanya, aku pulang dulu, tuch ayahku sudah menunggu” Vara melambaikan tangan dan melangkah meninggalkan aku.
“Hati-hati di jalan” pesanku.
Setelah Vara pergi aku segera pergi ke kantor untuk mengajak kakekku pulang. Kakekku memang ngantor di SD tempatku belajar. Tapi mengapa tiba-tiba saja seperti ada yang mengganjal di hatiku. Ada perasaan aneh yang menyertaiku. Tak terlalu kupikirkan apa yg sedang membuat hatiku menjadi aneh begini. Barangkali saja aku masih terbawa perasaan tentang mimpiku semalam.
Rika... ditunggu ayahmu tuch,” kata guruku sesampainya aku di depan pintu.
Mendengar berita itu, tiba-tiba saja muncul keringat dingin di wajahku. Jantungku juga berdegup kencang; takut, gelisah, sedih bercampur menjadi satu. Perasaan itu berkecamuk tak karuan mengaduk-aduk perasaanku. Jangan-jangan...
Ingin sekali rasanya menghindar dari ayahku. Tapi tak tahu apa yang harus aku lakukan agar aku tak bertemu dengan ayahku. Aku ingin segera pergi menyusul Vara atau pergi saja ke rumah temanku yang lain agar aku tak bertemu dengannya. Tapi tiba tiba saja kakekku memanggilku untuk segera masuk ke kantor dan duduk bersamanya.
Sebenarnya aku ingin menolak permintaan kakekku, tetapi kakekku bersikeras agar aku segera masuk. Akhirnya dengan perasaan tak karuan, kupatuhi permintaannya. Aku segera masuk dan duduk di samping kakekku.
Seorang laki laki yang sudah tak asing lagi bagiku memeluk tubuhku. Orang itu adalah AYAHKU. Dia memelukku erat, aku berusaha melepaskannya. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa asing dengan laki-laki yang memelukku ini.
Kemudian laki-laki itu berbicara dengan kepala sekolahku dengan suara lirih. Entah apa yang mereka bicarakan. Setelah berbicara dengan kepala sekolahku, kemudian dia mencoba mendekatiku dan berbicara denganku. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Kemudian dia memberikan sebuah kalung padaku. Setelah memberikanku kalung itu, dia menciumku. Lalu pergi meninggalkan aku yang masih termangu.
Segera aku ajak pulang kakekku.
Sesampainya di rumah, nenek menyambutku dengan tergopoh-gopoh, tidak seperti biasanya. Sambil menyerahkan sebuah bingkisan kado, nenekku berkata “Ayahmu tadi ke sini dan menitipkan ini untukmu. Coba kamu lihat apa isinya”
Dengan perasaan ragu, aku terima bingkisan itu.
“Iya Nek akan ku buka” kataku pelan.
Setelah kubuka, isinya ternyata sebuah boneka Barbie yang sangat bagus. Aku menangis sambil memeluk boneka pemberian ayahku itu. Sebenarnya aku sangat sayang pada ayahku. Aku ingin ayahku selamanya berada di sampingku. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Waktu juga tak bisa diputar ulang. Aku harus rela menerima apa pun takdirku. Allah pasti Maha Tahu apa yang terbaik buat diriku dan juga keluargaku. Aku hanya bisa berdo’a semoga ayahku selalu mendapatkan kebahagiaan di sana.
“Terima kasih ayah atas semuanya. Aku sayang kamu ayah. Akan kuingat memori tentangmu, di hatiku. Salam dari anakmu.” Aku dekap boneka Barbie pemberian ayahku.