Tampilkan postingan dengan label sketsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sketsa. Tampilkan semua postingan

06/09/23

Memilih Masa Depan

 

MEMILIH MASA DEPAN

Oleh: Senna Ardan

 


Seorang anak bodoh, seorang pemalas, seorang pecundang, seorang beban, ia adalah Rektjess. Seakan tak punya kelebihan, seakan tak punya harapan, dan seakan tak punya masa depan. Ia sempat kalah dan sempat lelah. Ia memandangi dunia yang terus berjalan, berjalan tak sesuai harapannya. Meninggalkannya seorang diri dalam rasa penyesalan dan kekesalan. Ia tenggelam dalam lautan kegagalan. Tak memiliki arah, tak memiliki gairah. Jiwanya ingin pasrah dan ingin menyerah. Hidupnya sangat membosankan bahkan ia sempat bosan untuk tetap hidup. Hingga suatu ketika ia menemukan sebuah jawaban dan alasan, mengapa ia harus tetap hidup.

Ia terbangun dan tersadar bahwa penyesalan yang mengisi harinya serta kekesalan yang mengisi hatinya tak mengubah apapun. Ia sadar jika hidup di dunia memanglah susah. Ia sadar kalau hidup di dunia memanglah melelahkan dan meskipun begitu ia tak boleh berhenti melangkah serta tak boleh menyerah mengakhiri hidupnya. Ia masih memiliki yang ia cinta dan ia cita-citakan. Ia pun memilih untuk mengejarnya.

Di tengah perjalanannya, ia mengalami kegagalan dan ia kembali ke titik nol tetapi itu tak membuatnya menyerah. Ia malah memilih untuk memulainya lagi, lagi, dan lagi. Ia tak pernah lelah untuk memulai. Ia tahu kalau saat itu ia bukanlah siapa-siapa. Ia tahu kalau saat itu ia tak punya apa-apa. Ia tahu kalau saat itu ia tak punya banyak waktu untuk memikirkannya, dan ia juga tahu kalau saat itu yang ia punya hanyalah sebuah hak untuk memilih. Memilih masa depannya sendiri, memilih akan jadi apa ia, dan memilih akan punya apa ia. Ia terus berjuang dan terus berkorban demi apa yang ia cinta dan ia cita-citakan. Namun sayang, di akhir hidupnya ia tak bisa menggapai mimpinya yang setinggi langit dan tetap bersyukur karena ia masih berada di antara bintang-bintang yang cantik nan indah.

 

 

 

Seribu Impian di Masa Depan

 

SERIBU IMPIAN DI MASA DEPAN

Oleh: Elda Dora Octavia

 


Masing-masing orang pasti memiliki impian, cita-cita dan harapan. Impian yang tersembunyi dari relung hati dan jiwa yang akan menimbulkan dorongan untuk melakukan suatu perubahan. Ketika aku masih kecil bahkan hingga saat ini, aku mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter. Kelak saat dewasa aku harus menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku. Setiap kali aku melakukan sesuatu, kata-kata itu selalu tertanam di dalam benakku.

Aku memiliki seorang guru yang selalu memberikan motivasi dan inspirasi untuk menatap masa depan. Guruku mengatakan jika ada kemauan pasti ada jalan dan aku meyakini hal itu. Dalam hidupku, aku memiliki visi meraih mimpi, menepis rintangan, dan menggapai cita-cita.

Membahagiakan orang tua adalah cita-cita terbesarku. Sedangkan kebahagiaan orang tua adalah ketika aku menjadi orang yang sukses, "Aamiin". Tak ada satu pun orang tua yang mau jasanya dibalas dengan harta dan benda. Mereka hanya ingin melihat anaknya bisa meraih keberhasilan.

Refleksi: meskipun sulit perjalanan yang aku lewati, begitu banyak rintangan menghadang jalanku, panas terik matahari tak kunjung usai, namun tekad tetap aku genggam untuk mewujudkan mimpiku itu. Takkan pernah ada kata menyerah dan putus asa.

Bagiku keberanian itu lebih penting. Sukses bukanlah final, kegagalan tak terlalu fatal. Tak masalah jika aku harus menemui kegagalan meskipun saat kegagalan itu mendera dunia terasa hancur berkeping-keping. Aku yakin kegagalan itu suatu saat akan bisa membuatku tersenyum di kala bisa meraih kesuksesan. Do’amu selalu kudamba, Ibu.

Ilmu itu bagaikan api yang harus dinyalakan bukan bejana yang menunggu untuk diisi

 

My Piece of Story

 

MY PIECE OF STORY

Oleh: Tharisza Noer Arifin

 


"Astagfirullah, Syasha... sudah jam berapa ini kamu masih tidur juga!"

"Aduhh Ibu… aku masih ngantuk banget" jawab seorang gadis dari balik selimut tebalnya.

Gadis itu bernama Syasha. Dia dikenal sebagai gadis yang ceria dan pandai. Sering memenangkan lomba-lomba, dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional. Parasnya cukup cantik, penampilannya juga anggun. Sikapnya ramah dan sopan. Makanya Syasha memiliki banyak teman.

"Memang kamu tidak sekolah Sya?"

"Memangnya jam berapa sih Bu?" kata Syasha.

"Sekarang jam 06.20 Sya" jawab ibunya.

"Apa?!” kata Syasha panik.

"Siapa suruh Syasha bangun terlambat?”

Syasha bergegas mandi dan bersiap pergi ke sekolah.

"Ibu, aku berangkat dulu ya!"

"Tidak sarapan Sya?" tanya ibu yang sedang merapikan meja makan.

"Tidak Bu, sudah hampir terlambat nich"

"Ya sudah, hati-hati ya Sya" pesan ibunya.

"Iya Bu" jawab Syasha.

"Eh neng Syasha. Kok tumben telat Neng? biasanya datang pagi?" sapa penjaga sekolah. 

"Iya, Pak”  

Syasha segera bergegas menaiki tangga untuk menuju ke kelasnya di lantai dua. Namun Syasha merasakan sedikit aneh. Lorong tangga itu tidak seramai biasanya.

“Ada apa ya, kok tidak seperti biasanya?” gumam Syasha.

“Bruk!” tak sengaja Syasha menabrak seorang anak perempuan.

"Eh kamu, sakit ya?" ucap Syasha sembari meminta maaf.

"Tidak, aku tidak apa-apa kok" suara sayup orang yang ditabraknya tadi sembari pergi meninggalkan Syasha yang masih termangu.

"Kok pergi begitu saja, dan cepat banget hilangnya” Syasha semakin kebingungan. Sekian detik tadi Syasha seperti berada dalam alam mimpinya. Begitu sadar, Syasha segera berlari menuju ke kelasnya.

"Assalamu 'alaikum" ucap Syasha di depan pintu kelasnya.

"Syasha, kok tumben jam segini baru datang?” kata teman satu bangkunya.

“Iya nich, tadi aku telat bangun" jawab Syasha apa adanya.

Tidak seperti biasanya pula, kali ini Syasha tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Pikirannya masih tertuju kepada kejadian tabrakannya dengan seorang anak perempuan di tangga tadi pagi. Namun Syasha tidak menceritakannya kepada Dita.

"Sya, saya perhatikan kamu hari ini kok banyak melamun sich? Ada yang mengganggu pikiranmu ya?”

"Tidak ada apa-apa kok Dit" jawab Syasha mengambang.

Setelah bel istirahat berbunyi, Syasha dan Dita pergi ke kantin depan dekat gerbang sekolahnya.  Handrey, sahabatnya ikut juga.

Dalam perjalanan menuju ke kantin itu, tiba-tiba Syasha berkata dengan gugup.

"Tunggu Dit!"

"Ada apa Sya?" Tanya Dita heran.

"Lihat itu! Ada yang mau lompat!” wajah Syasha terlihat begitu khawatir.

"Apaan sich? Tidak ada siapa-siapa” kata Handrey sambil memandang ke arah yang ditunjuk Syasha.

"Iyaa Syaa, tak ada siapa-siapa di sana" kata Dita meyakinkan.

"Itu lo! Ada orang mau melompat ke bawah” ucap Syasha sambil menunjuk-nunjuk, wajahnya menjadi tegang.

Dita dan Handrey juga menjadi semakin kebingungan.

"Astagfirullah Sya…, tak ada orang di sana” Handrey mendekat ke tempat yang ditunjuk Syasha untuk meyakinkannya. Dan Syasha memang tidak melihat lagi sosok yang tadi dilihatnya mau melompat ke bawah.

"Sudahlah tak usah berdebat lagi. Paling kamu lapar karena tadi tak sempat sarapan. Makanya kamu mengigau” hibur Dita.

Sepulang sekolah dan setelah beristirahat, Syasha dimintai tolong ibunya untuk membelikan gula di toko yang berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Kebetulan toko itu melewati rumah Handrey. Syasha melihat kakek Handrey sedang berdiri di depan pintu.

“Kek, kakek kok tidak masuk Kek?” Tanya Syasha pada kakek Handrey.

“Iya Nak, kakek menunggu Handrey pulang. Pintunya dikunci oleh Handrey” jawab si kakek.

“Jahat bener si Handrey. Tega-teganya dia membiarkan kakeknya menunggu. Awas besok kalau ketemu, pasti aku jitak kepalanya” gumam Syasha.

“Ya sudah Kek kalau begitu, saya mau ke toko dulu”

“Iya, Nak” jawab si kakek sambil memandangi Syasha.

Hari berikutnya, ketika menaiki tangga menuju ke kelasnya, Syasha kembali bertemu dengan anak perempuan sebayanya yang ditabraknya tanpa sengaja kemarin. Dia berdiri mematung di dekat tangga. Kali ini Syasha ingin menyapa dan mengajaknya ngobrol. Namun begitu Syasha menoleh, anak itu sudah tidak ada di tempatnya semula. Syasha mencoba mencarinya tapi tak juga dia temukan. Sosok itu seperti hilang bersama angin.

"Hei Sya, kamu kenapa kok malah bengong di sini?” kehadiran Dita menyadarkannya.

“Yuk” Dita menggandeng tangan Syasha menuju ke kelasnya.

Begitu sampai di kelasnya, yang Syasha temui pertama adalah Handrey.

“Eh, kamu kok tega-teganya sich membiarkan kakek kamu menunggu di luar rumah sendirian?” kata Syasha pada Handrey dengan lagak galak.

“Apa Sya maksudmu?” Tanya Handrey bingung.

“Jangan sok tak tahu kamu Drey. Kemarin aku lihat kakekmu berdiri sendirian di depan pintu hanya untuk menunggu kepulanganmu” kata Syasha yakin.

“Aduh Sya, apa-apaan sich kamu ini?” Handrey semakin kebingungan. “Kamu juga tahu khan kalau kakek saya itu sudah meninggal dua minggu lalu gara-gara serangan jantung?”

Dengan keterangan Handrey ini akhirnya Syasha kalah argumen. Memang faktanya kakek Handrey sudah meninggal. Tapi Syasha juga yakin bahwa yang dilihat dan disapanya kemarin memang kakeknya Handrey. Termasuk anak yang dibraknya tanpa sengaja di tangga, atau orang yang mau melompat dari lanti dua sekolahnya.

Akhirnya Syasha mulai mengerti bahwa dia memiliki kemampuan melihat sosok-sosok astral tak kasat mata yang tidak bisa dilihat orang lain. Orang tuanya pernah membawanya ke orang pintar untuk menutup sisi indigonya tersebut. Namun orang pintar itu mengatakan bahwa tabir indigo itu akan terbuka lagi ketika usia Syasha menginjak remaja. Dan kini Syasha mulai bisa beradaptasi dengan kemampuan istimewanya tersebut.

Arti Lafal Surat Al Baqarah ayat 254

  SURAT AL BAQARAH AYAT 254   يٰٓاَيُّهَا   wahai فِيْهِ di dalamnya الَّذِيْنَ ...