MAAFKAN AKU, AYAH…
Oleh: Maltanezi
Hari ini aku pergi ke rumah nenek yang tak jauh dari rumahku. Aku sengaja ke rumah nenek agar bisa menonton pertandingan bola volley di lapangan desa. Jika di rumah pasti ayahku tidak akan mengizinkannya. Lagian di sini ada Om yang menyayangiku. Dia pasti mau menemaniku nonton. Kebetulan hari itu nenek sedang memasak besar untuk persiapan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW esok hari. Aku beralasan akan membantu nenek memasak. Jadi ayahku pasti akan mengizinkannya.
Ketika sedang asyik mengupas bawang, nenekku mendekat, “Nggak nonton volley ball ta Nduk?” Aku menoleh ke arah nenek. “Malam ini final katanya. Kalau mau nonton, tuch ajak si Om.”
Wah, gayung bersambut nich, pikirku. Nenekku yang satu ini memang sangat pengertian.
“Iya Nek sebentar lagi biar selesai dulu ngupas bawangnya. Lagian ini juga baru jam delapan kok.”
“Ya sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu,”
Setelah selesai mengupas bawang, aku menemui Om yang lagi asyik dengan hpnya. Aku duduk di kursi di samping Om.
“Pasti ada maunya nich anak,” begitu celetuk Om seperti sudah hafal betul dengan kebiasaanku. Memang sich, seperti biasanya, jika aku butuh sesuatu atau sedang perlu bantuan Omku ini, aku pasti akan mendekati Om pelan-pelan. Jadi wajar saja jika Omku sudah hafal dengan kebiasaanku itu.
“Om tidak ingin nonton bola volley ta Om?”
“Tidak.” Jawab Om singkat dengan tetap memelototi layar hpnya.
“Final lo Om,” rajukku.
“Sekali tidak ya tidak. Kenapa sich kamu ini?”
“Eem, ada pemain nasionalnya lo Om,”
“Biarin, memang Om pikirin,”
Aku tahu Om sengaja menggodaku seperti kebiasaannya juga.
“Ya sudah, aku nonton sendiri saja kalau begitu,” aku pura-pura pergi.
“Heh, anak perempuan mau kelayapan malam-malam sendirian. Jika terjadi sesuatu siapa mcoba nanti yang bertanggungjawab?” Om buru-buru mengejarku.
“Nah, gitu dong Omku yang baik hati dan tidak sombong”
Setelah pamit nenek, aku pergi bersama Om.
Sambil nonton, Om membelikanku Pop Ice dan sosis. Tentu aku sangat senang dibuatnya. Di tengah permainan, hujan mulai turun. Penonton mulai gelisah. Maklum saja, pertandingan volley ball itu diadakan di lapangan terbuka, bukan di gedung.
Aku lirik Om juga sudah mulai gelisah. Sesekali panmdangannya menengadah ke atas seperti ingin memohon kepada Sang Pencipta agar hujannya ditunda. Sesekali aku ikut-ikutan mendongak ke atas langit.
“Pet!” Tiba-tiba lampu mati. Tentu suasana menjadi gaduh. Suara teriakan penonton yang tidak sabar bertimpahan. Sesekali terdengar juga umpatan. Aku hanya mengelus dada.
“Duar!” Petir menggelegar sangat keras dan terasa sangat dekat menggetarkan.
Aku berlari mencari tempat untuk berteduh. Om aku tinggal begitu saja.
Aku mengginggil kedinginan.
Dari balik kegelapan, di bawah penerangan lampu senter sosok seorang laki-laki mendekat ke tempatku berteduh. Sekujur tubuh lelaki itu tertutup mantel. Tangannya seperti membawa membawa sesuatu sepanjang kurang lebih satu meter. Aku merasa sangat ketakutan. Aku menyesal, mengapa tadi Om aku tinggalkan begitu saja. Pasti sekarang Om sedang bingung mencariku.
Sosok laki-laki itu berdiri tepat di dekatku. Lampu senter diarahkan ke wajahku. Lalu tiba-tiba… dia menyodorkan sebuah paying kepadaku sambil berkata, “Ayo pulang…”
“Ayah… Ayah…” aku peluk ayahku erat.
Selama ini ayahku selalu melarangku keluar malam, apalagi untuk acara yang tidak ada hubungannya dengan sekolahku. Aku pikir ayahku tidak sayang kepadaku. Tapi ternyata, aku salah sangka. Di bawah guyuran hujan lebat, gelapnya malam, dan gelegar petir, ayahku mau bersusah-payah mencariku.
“Tadi Om-mu menelephonku. Katanya kamu terjebak di sini”.
“Terima kasih, Ayah… terima kasih, Om…”
Tak terasa air mataku menetes satu-satu berbaur dengan air hujan malam itu.
“Maafkan aku yang sudah berprasangka buruk kepadamu, Ayah…” Aku peluk lengan ayahku erat.
Akhirnya aku pulang bersama ayahku dengan perasaan bahagia.