01/09/23

Salam Rindu untuk Bapak

 SALAM RINDU UNTUK BAPAK

Oleh: Mensiana Safara

 

 


Namaku Safara. Aku tinggal di sebuah kota kecil di pesisir Jawa. Hujan rintik-rintik membasahi kotaku malam ini. Tanpa cahaya sang bintang maupun rembulan. Dingin angin malam menusuk tulang. Di lantai dua sebuah toko buku lama, aku bisa melihat hampir segala aktivitas di bawah sana. Kereta yang meliuk-liuk bagaikan naga, serta jalanan yang di dominasi angkot-angkot yang berlalu-lalang. Dua tahun sudah kegiatanku ini menjadi rutinitas di setiap hari Selasa, satu kali dalam seminggu.

Hujan di luar semakin deras mengguyur gedung-gedung kota. Begitu pula angin yang kian mendingin. Aroma petrichor kian menambah tenang dan senyap seakan-akan mengirimku ke dimensi masa lalu. Anganku seakan membeku, perasaanku seakan mengkristal, mengingat masa-masa itu.

Bulan purnama menjadi rajanya malam ini. Teramat takjub aku dengan keindahannya. Terlalu indah sampai ingin kuawetkan dan kupajang di dinding kamarku.

Aku masih dengan takzim memandang rembulan, hingga sebuah suara yang familiar memecah hening.

“Anak gadis ndak baik di luar malam-malam,” ujar bapak yang entah sejak kapan bersandar di pintu sambil menggoyang-goyangkan cangkir kopi hitamnya.

Ada apa to Nduk? Kok melamun? Pasti mikirin cowoknya. Ya to?” gurau bapak sambil menyeruput kopinya. Gigi kuningnya terlihat, akibat terlalu sering merokok.

“Tidaklah Pak, Safara lho cuma melihat bulan.Ucapku sambil menunjuk arah bulan.

“Cantik, bulannya memang cantik tapi masih lebih cantik anak semata wayang Bapak dan Bunda.” Aku dan bapak tergelak karena candaan bapak. Bapak memang selalu bisa mencairkan suasana.

Setelah itu hening beberapa menit digantikan dengan suara jangkrik dan suara burung hantu peliharaan tetangga kami.

Nduk, tau ndak wajah siapa yang menjadi wajah paling menyenangkan dipandang diantara wajah-wajah lainnya?”

Lagi-lagi suara bapak memecah keheningan di antara kami.

“Hmm…wajah… wajah Bunda?” Jawabku ragu-ragu.

“Bisa jadi. Tapi maksud Bapak, wajah paling menyenangkan dimiliki oleh orang yang rela dan ikhlas atas segala kehendak semesta.” Tutur bapak sambil mengusap puncak kepalaku.

Aku terdiam. Aku hanyalah gadis kecil yang berumur dua belas tahun saat itu. Masih terlalu dini untuk mengerti segala perkataan bapak, dan bapak sepertinya mengerti jika aku belum paham dengan apa yang diucapkannya ketika itu.

“Sudah…sudah.., besok juga mengerti kalau sudah besar.” Ucap bapak sesudah menyesap kopi terakhir di cangkirnya.

“Permisi Kak, tokonya tutup lima belas menit lagi lo…” Ujar seorang pelayan yang menghampiriku sambil tersenyum.

Suara itu memecah portal nostalgia masa laluku. Lantas aku menengok ke kanan dan kiri, dan benar, aku pelanggan terakhir di sini.

“Oh, sudah mau tutup ya. Ok, sebentar lagi saya keluar. Maaf.” Aku segera mengambil satu buku secara acak untuk membayar waktuku kali ini, entah akan aku baca atau tidak nanti.

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul dua puluih tiga sekarang, Pasti bunda sedang gelisah menungguku di rumah.

Motorku membelah jalanan kota yang masih basah. Suasana sepi membuat anganku tak sengaja melayang lagi mengingat bapak. Aku rindu dengan bapak. Aku memutuskan untuk mengunjungi bapak besok, dan membawakan bunga lily, bunga favorit bapak. Bapak sudah meninggal lima tahun yang lalu. Masih kuingat dengan jelas sekali lekuk wajahnya yang mulai berkeriput, namun pelajaran yang ditorehkan oleh bapak akan selalu hidup dan abadi dalam jiwaku.

Dengan ini, terima kasih paling agung aku ucapkan padamu, Bapak. Maafkan aku anakmu yang belum bisa membahagiakanmu di dunia ini. Serta doa paling agung, kulangitkan untukmu, Bapak, untuk segala kasih serta pengajaranmu untukku. Salam rindu untuk Bapak.

Arti Lafal Surat Al Baqarah ayat 254

  SURAT AL BAQARAH AYAT 254   يٰٓاَيُّهَا   wahai فِيْهِ di dalamnya الَّذِيْنَ ...